Kamis, 08 Mei 2008

Tertangkapnya Raden Saleh


(Refleksi Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh)

"Lukisan berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh (1807-1880) menyimpan sejumlah tanda tanya. Lukisan ini diselesaikan tahun 1857, hampir 30 tahun setelah perang Diponegoro berakhir pada 1830. Lukisan berukuran kecil ini (100 x 150 cm) tidak orisinal karena merupakan salinan (dengan perubahan) lukisan J.W. Pieneman dengan judul dan ukuran yang kurang lebih sama. Lukisan Pieneman yang disontek dibuat beberapa tahun setelah perang Diponegoro berakhir sebagai catatan peristiwa penting dalam sejarah administrasi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Penangkapan Pangeran Diponegoro terkategori peristiwa besar karena Perang Diponegoro merupakan perang yang sulit, mahal dan lama (1825-1830)".
(Jim Supangkat, Raden Saleh dan Revolusi 1848, 1000 Tahun Nusantara/Editor, J.B.Kristanto.-Jakarta: Kompas, 2000, hlm. 585).

Uraian di atas merupakan tinjauan kritis terhadap sejarah seni rupa modern Indonesia dan latar belakang yang mempengaruhinya, Raden Saleh berhadapan dengan J.W. Pieneman sebagai perupa dan Pangeran Diponegoro (bersama kerabat dan pasukan pengikutnya) sebagai tokoh yang mengilhami karya mereka dalam konteks masa pendudukan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang diwakili Jenderal De Kock dan prajurit perwiranya.

Seperti kita ketahui, Raden Saleh dengan pandangan patriotik dan pengaruh romantisme yang mulai berkembang di Eropa pada masanya, berusaha melawan lewat pemberontakan dan kritikan lewat karya Penangkapan Pangeran Diponegoro tersebut, di mana karakter dan setting tokoh-tokoh perjuangan dalam karya Pieneman (sebagai pelukis dokumenter, Pieneman menggambarkan obyek figur dengan kaku dan bersifat resmi) direvisi oleh Raden Saleh (Dijiwai oleh suasana kesedihan dan drama, di dalamnya sikap keras para perwira Belanda itu kelihatan begitu tajamnya bertentangan dengan wajah-wajah sendu yang terpancar dari pengikut Diponegoro). Bertolak dengan karya yang lain, dalam lukisan ini anatomi pihak Belanda dikerdilkan. Tidak tanggung-tanggung, Raden Saleh juga memasukkan dirinya di dalam lukisan itu: pertama, berdiri menunduk dan dengan sikap penuh takzim di hadapan Pangeran; dan, kedua, sebagai salah seorang pengikut Diponegoro, dengan muka penuh kecemasan, menatap ke depan. Hebatnya lagi, karya tersebut dihadiahkan kepada Raja Willem III - suatu sikap perlawanan yang sangat efisien, langsung ke pusat pemerintahan Kolonial !

Dalam karya Tertangkapnya Raden Saleh ini, saya berusaha mempertemukan tokoh-tokoh pelaku peristiwa sejarah besar Perang Jawa, sambil berusaha “menangkap” ideologi perlawanan Raden Saleh..

Dalam setting imajiner saya, Raja Willem III terusik dengan hadiah dari Raden Saleh tersebut, maka dibuatlah rekonstruksi yang melibatkan tokoh-tokoh tersebut, dipanggillah Pieneman, De Kock dan Raden Saleh, Pangeran Diponegoro juga dijemput dari Port Rotterdam Makassar, mereka kemudian berbondong-bondong menuju Magelang (waktu itu belum menjadi kota kolektor), mungkin kejadian tersebut dilakukan setelah tahun 1857, setelah lukisan tersebut jadi dan dihadiahkan ke Raja Willem III. Ah tidak mungkin ! Pangeran Diponegoro berpulang pada tanggal 8 Januari 1855 dalam pembuangan. Jadi siapa yang mewakili Pangeran Diponegoro dalam acara rekonstruksi tersebut ?
Atau, ini mungkin lebih rasional, acara tersebut terjadi setelah kepulangan Raden Saleh dari Perancis sekitar tahun 1851 (Tahun 1852 & 1857 Raden Saleh pulang ke Jawa) sampai sebelum Pangeran Diponegoro meninggal dunia (1855). Jadi ide acara rekronstruksi tersebut datang dari De Kock-karena masih mencurigai Raden Saleh (Raden Saleh berusaha melarikan diri ke Jerman, setelah beliau dikirim ke Belanda lalu Perancis di tengah berkecamuknya Perang Jawa), atau ide Raden Saleh sendiri atas persetujuan penguasa kolonial.
Semua berkumpul (dan Raja Willem III tidak tahu-menahu, karena memang dia tidak diberitahu), termasuk Pangeran Diponegoro. Beliau memperhatikan sketsa Raden Saleh (Dalam sketsa ini Raden Saleh menggambarkan Pangeran Diponegoro bertolak pinggang sambil menenangkan istrinya yag bersujud di lututnya), dan Pieneman harap-harap cemas menyaksikan adegan tersebut. Dia sadar sebagai pelukis pemerintah berhadapan dengan Pangeran Diponegoro yang melegenda tersebut, dan di sebelahnya berdiri seniornya, setelah lebih dari 22 tahun memperdalam seni lukis di Eropa, tujuh tahun terakhir tinggal di negara revolusioner (Revolusi Perancis II terjadi tahun 1848). Dan Jenderal De Kock berusaha berargumen mengenai sketsa tersebut, dia berusaha menjelaskan sesuatu terhadap Pangeran, tapi dalam moment ini De Kock kalah wibawa dengan Pangeran, apa pun alasannya De Kock telah menangkap Pangeran Diponegoro dengan bantuan Kolonel Jean Baptista Cleerens dengan cara tidak terpuji, tidak ksatria dan licik. (Dr. Peter Carey, Asal Usul Perang Jawa, Pemberontakan Sepoy& Lukisan Raden Saleh, Yogyakarta:LKiS, 2001, hlm. 158). Meskipun sebagai penguasa, dia merasa gusar dalam situasi ini, dalam satu sisi dia bersebelahan dengan tawanan yang masih dianggap sebagai pemimpin rakyatnya, di sisi lain dia harus mengawasi sekaligus bertugas mengantar Raden Saleh, bagaimanapun Raden Saleh masih tercatat sebagai pelukis istana Kerajaan Belanda.

Saya membayangkan, betapa harunya pertemuan dua tokoh yang penuh pengabdian tersebut, Pangeran Diponegoro secara frontal melawan kolonial dan akhirnya tertangkap, dan Raden Saleh berjuang lewat lukisannya di induknya kolonial, dan juga "tertangkap".

Sekarang, sudah seratus lima puluh tahun usia lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro, dan selama itu pula Raden Saleh sudah secara terang-terangan dan terbuka menunjukkan nasionalisme lewat karya-karyanya..

Rudi Winarso, S.Sn.

Karya : Rudi Winarso, S.Sn.
Judul : Tertangkapnya Raden Saleh
Ukuran : 150 x 200 cm
Media : Oil on Canvas
Tahun : 2001

Pameran Seni Visual 200 Tahun Raden Saleh 'Ilusi-ilusi Nasionalisme'


Pameran Seni Visual 200 Tahun Raden Saleh
'Ilusi-ilusi Nasionalisme'

JOGJA GALLERY
HARI SABTU, 18 AGUSTUS 2007
PUKUL 19.30 WIB
DIBUKA OLEH SARDONO W. KUSUMO

Berikut ini, perlu kami sampaikan kepada publik, hasil seleksi undangan terbuka berkarya untuk pameran seni visual 200 Tahun Raden Saleh - 'Ilusi-ilusi Nasionalisme', yang akan diselenggarakan di Jogja Gallery [JG], Yogyakarta, 18 Agustus - 9 September 2007. Undangan terbuka berkarya telah kami rilis sejak awal Juni 2007 lalu, dan telah masuk sebanyak 104 proposal dari 78 perupa dari seluruh Indonesia, dengan perincian Yogyakarta [27 proposal], Surabaya [6 proposal], Jawa Tengah [10], Semarang [4 proposal], Bandung [2], Banyuwangi [7 proposal], Malang [3 proposal], Probolinggo [3 proposal], Purwokerto [2 proposal], Sidoarjo [1 proposal], Pati [2 proposal], Pekalongan [2 proposal], Magelang [2 proposal], Bali [1 proposal], Mojokerto [2 proposal] dan tanpa alamat [2 proposal]. Menurut penilaian kurator [Mikke Susanto], yang berlaku sebagai penyeleksi proposal yang masuk, menyatakan ada 2 hal penting yang patut dicatat dalam proses seleksi kali ini yaitu pertama, masih banyak ditemukan kelemahan teknis dalam visual. Kedua, masih terlalu banyak gagasan klise dalam menangkap isu nasionalisme yang disodorkan dalam abstraksi kuratorial.

Jogja Gallery [JG] mengucapkan SELAMAT dan menyampaikan penghargaan atas partisipasi dan atensinya dalam pameran kali ini, kepada ke -12 perupa terpilih berikut,
Anang Asmara [Yogyakarta]
Ahmad Sobirin [Yogyakarta]
Dadi Setiyadi [Yogyakarta]
Deni Junaedi [Yogyakarta]
Ely Ezer [Banyuwangi]
Gusar Suryanto [Sidoarjo, Jawa Timur]
Imam Aabdillah [Yogyakarta]
I Made Wiguna Valasara [Yogyakarta]
Mulyo Gunarso [Yogyakarta]
Putut Wahyu Widodo [Semarang]
Riduan [Yogyakarta]
Rudi Winarso [Yogyakarta]

Yang akan mendampingi perupa undangan dalam pameran ini yaitu:
Abay D. Subarna, Agus Yulianto, AS. Kurnia, Astari Rasjid, Askanadi, Andy Wahono, Bambang Pramudiyanto, Bambang Sudarto, Budi Kustarto, Budi Ubrux, KH. D. Zawawi Imron, Denny 'Snod' Susanto, Dani Agus Yuniarta, Dyan Anggraini Hutomo, Doel AB, Eddy Sulistyo, Eddi Hara, Edo Pop, Eko Didyk 'Codit' Sukowati, Gatot Indrajati, Hanafi, Haris Purnomo, Heri Dono, Ivan Sagito, Melodia, Nana Tedja, Nanang Warsitho, Nurkholis, Pius Sigit Kuncoro, Pintor Sirait, R. Aas Rukasa, Rosid, Ronald Manulang, S. Teddy D, Samsul Arifin, Suraji, Suroso [Isur], Ugy Sugiarto, Willy Himawan, Wilman Syahnur, Yuswantoro Adi.


Abstrak Kuratorial

Pameran Seni Visual - 200 Tahun Raden Saleh [Pelopor Seni Lukis Modern Indonesia]

‘ILUSI-ILUSI NASIONALISME’

Jogja Gallery, Jalan Pekapalan No 7, Alun-alun Utara Yogyakarta / 18 Agustus - 9 September 2007



Raden Saleh dipercaya—dan dari sebagian besar data yang ada—lahir tahun 1807, tepat dua ratus tahun lalu. Ia tercatat lahir di Semarang Jawa Tengah dan kemudian melegenda menjadi pelukis perdana sekaligus pelopor seni lukis Indonesia . Jalan hidupnya sangat menarik, sebagai masyarakat biasa, pelukis istana Kerajaan Belanda dengan melakukan perjalanan ke beberapa negara selama bertahun-tahun, dan menjadi pelukis yang saat ini namanya tetap harum. Lukisan-lukisannya banyak menggambarkan suasana pemandangan, pertarungan binatang, potret para pembesar beberapa negara di Eropa dan di Indonesia, serta lukisan tentang perjuangan/ nasionalisme bangsa ini.

Perjalanan hidupnya yang sangat menarik tersebut, banyak mengilhami para perupa Indonesia . Selain dihormati karena kecerdasannya yang luar biasa, ia juga menjadi ikon seni Indonesia pertama yang berhasil mempengaruhi dan memperkenalkan bangsa ini kepada dunia luar. Wajar bila pada saat ini Raden Saleh kemudian dianggap menjadi kebanggaan bangsa. Ia, menurut peneliti Claire Holt, dianggap sebagai “ayah” bagi gerakan seni modern di Indonesia.

Salah satu lukisan yang hingga saat ini menjadi perbincangan dan sangat penting adalah Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857). Lukisan ini sampai saat ini dipajang di Istana Presiden Republik Indonesia . Lukisan ini banyak memberi inspirasi bagi banyak pengamat, karena berbagai alasan. Alasan tersebut misalnya mempertentangkan sikap dan nasionalisme Raden Saleh terhadap bangsa Indonesia yang sedang terjajah. Mengapa sosok Diponegoro digambarkan sama tinggi dengan orang Belanda? Alasan lain adalah bahwa dalam lukisan ini selain secara tematik mengarah pada tema nasionalisme, tetapi juga memberi petunjuk bahwa segala keterampilan yang dimiliki Raden Saleh ditumpahkan dalam karya tersebut. Lihat saja tema lukisan pemandangan, binatang, potret para pembesar serta lukisan potret dirinya masuk dalam karya ini. Sehingga sangat layak seandainya lukisan ini kemudian dapat melahirkan berbagai gagasan mutakhir sampai saat ini.
Dalam pameran ini kami mengajak para perupa ternama Indonesia untuk secara khusus mencermati lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro, bukan yang lain. Karena dengan lukisan ini semangat nasionalisme (oleh sebab itu pameran ini diselenggarakan pada bulan Agustus yang sakral bagi bangsa Indonesia ), hendak diuji kembali, dikaji kembali dalam bentuk apa saat ini nasionalisme tersebut berjalan. Dalam beberapa hal, lukisan Raden Saleh ini juga memuat misteri yang tidak saja visual, namun juga dapat melahirkan lagi misteri dan ilusi-ilusi tentang berhagai hal yang lain. Para perupa berhak mengajukan berbagai ilustrasinya mengenai lukisan ini. [Mikke Susanto]

Senin, 03 Desember 2007

Tebar Pesona a la Trowulan: Megapolitan di Pedalaman Majapahit

“SIRA ta dhinarmeng Kapopongan, bhiseka ring Crnggapura pratista ring Antawulan”


KALIMAT di atas diambil dari Serat Pararaton yang berisi kisah Raja-Raja Tumapel dan Majapahit yang mengabarkan wafatnya Raja Jayanegara pada tahun 1328 Saka. Menurut Dr. N.J. Krom, Crnggapura dalam Pararaton sama dengan Cri Ranggapura dalam Nagarakrtagama, sedang Antawulan dalam Pararaton sama dengan Antarsasi dalam Nagarakrtagama.
Jadi dapat disimpulkan bahwa dharma (tempat suci) Raja Jayanegara berada di Kapopongan atau Crnggapura atau Cri Ranggapura. Pratista (bangunan suci)-nya berada di Antawulan atau Trowulan. Sedangkan Kapopongan atau Crnggapura atau Cri Ranggapura sekarang ini lebih dikenal dengan sebutan Gapura Bajangratu, sebuah bangunan pintu gerbang yang memiliki atap (paduraksa), bahan utamanya terbuat dari bata merah sedangkan lantai tangga dan ambang pintu terbuat dari batu andesit.
Tujuan pembuatan bangunan tersebut diduga sebagai pintu masuk ke sebuah bangunan suci untuk memperingati wafatnya Jayanegara (dalam Nagarakrtagama disebut kembali ke dunia Wisnu 1328 Saka), yang diperkuat dengan adanya relief Sri Tanjung dan Sayap Gapura yang mempunyai arti sebagai lambang “pelepasan”.
Gapura Bajangratu terletak di Dukuh Kraton, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, 65 km arah barat dari Kota Surabaya atau 20 km timur Jombang. Dari Jalan Raya Jombang - Mojokerto ke arah selatan, sampai di perempatan Dukuh Ngliguk belok ke timur sekitar 3 km. Anda bisa mencapainya dengan jalan kaki atau naik becak yang biasa mangkal di sekitar perempatan ibukota Majapahit tersebut.
Apabila anda naik becak dan keasyikan ngobrol dengan abang becak, dalam beberapa menit telah muncul di samping kiri anda kolam renang besar purba dengan sebuah candi kecil pada bagian tengahnya bersosok gunung merangkap pancuran - yang oleh masyarakat sekitar disebut Candi Tikus, setelah anda melewati belokan ke selatan.
Pada tahun 1924, Ir. H. Maclaine Pont membuat sketsa rekonstruksi ibukota Majapahit berdasarkan Nagarakrtagama dan beberapa usaha penggalian yang dilakukan bersama timnya. Ibukota Majapahit terlihat teratur, indah dan ditata dengan megah.
Dalam Nagarakrtagama disebutkan, penduduk ibukota Majapahit terdiri dari dua ratus sampai tiga ratus ribu keluarga, kota itu dikelilingi dinding tebal dan tinggi yang terbuat dari batu bata. Apabila ada yang masuk ke kota harus melewati pintu gerbang. Di kota itu terdapat alun-alun yang dikelilingi pohon beringin yang rindang, di tengahnya terdapat kolam yang besar. Di selatan alun-alun ada dataran untuk gelanggang. Di samping gelanggang terdapat sitinggil, suatu pelataran yang diberi atap.
Di sitinggil itulah raja duduk sambil menikmati tontonan atau permainan yang diadakan di gelanggang. Gelanggang tersebut dikelilingi komplek perumahan pendeta dan beberapa candi. Di selatan gelanggang terletak istana raja, yang tidak boleh dikunjungi rakyat. Tidak jauh dari istana terdapat bangunan untuk kediaman para pangeran.
Kecuali gedung-gedung suci (candi) dan pintu gerbang, semua bangunan terbuat dari kayu. Bangunan tersebut indah-indah semua dan bentuknyapun tidak ada yang sama antara satu dengan lainnya. Lagi pula semua dihiasi dengan lukisan dan barang dari tanah liat.

Kolam besar yang terdapat di tengah alun-alun tersebut dinamakan segaran yang berarti laut, atau telaga dalam Nagarakrtagama.
Menurut berita Cina dan cerita rakyat, kolam seluas 6,5 hektar tersebut digunakan untuk rekreasi dan menjamu tamu dari luar negeri, mungkin semacam pesta kebun atau standing party yang dilakukan di pinggir kolam.
Hidangan yang disajikan beraneka macam dan sangat lezat, sedangkan peralatan makan yang digunakan dalam pesta tersebut terbuat dari emas dan perak.
Setelah menyantap hidangan para tamu diperkenankan “membuang” piring atau peralatan makan/minum ke dalam kolam! Menunjukkan betapa kaya dan makmurnya negeri Majapahit…
Tak lama setelah tamu beranjak pulang, para petugas kerajaan datang memungut kembali “sampah” tersebut dengan cara mengangkat jala atau jaring-jaring yang menutupi sepanjang permukaan kolam - yang tentu saja ada lecet-lecet di sana-sini, ndak masalah, toh perhelatan serupa masih tiga purnama lagi.
Ehm, suatu entertaint dengan teknik orisinal untuk sebuah building image yang di-organized para pakar pi-ar mbah kita, atau mungkin lebih tepatnya mbah-mbahnya pakar pi-ar.
Dan malampun segera larut, para tamupun meneruskan mimpinya di ranjang-ranjang mewah keraton Trowulan. Ssst…lebih dari enam abad yang lalu praktek tebar pesona sudah dilakoni moyang kita!

Mojokerto, Mei 2005-07
Rudi Winarso

Selasa, 20 November 2007

WAYANG KULIT: Adikarya Disain Nusantara

Kiranya bukan sovinisme (chauvinisme) yang mendorong kita untuk mengatakan bahwa wayang kulit itu suatu bentuk seni yang sangat indah dan menarik. Memang sungguh menarik dan menakjubkan gaya dekoratif abstrak maupun realistis ciptaan para seniman tradisional kita. Dengan daya fantasi yang luar biasa mereka jalin relung-relung lubuk keindahan alam sekitarya menjadi karya-karya penuh pesona dalam penyebaran kebudayaan sebagai komponen peradaban. Mereka merupakan orang-orang yang pandai berolah seni, yang karya-karya ciptaannya dipersembahkan kepada masyarakat untuk keperluan ibadah atau upacara ritual, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan sarana upacara adat dan agama. Dengan menggunakan motif-motif relief atau patung-patung candi yang banyak terdapat di Jawa sebagai sumber, terciptalah oleh seniman-seniman tradisional bentuk-bentuk wayang yang disesuaikan dengan larangan agama Islam. Digambarkannya bentuk-bentuk manusia secara abstrak-dekoratif seperti yang terlihat pada wujud Wayang Kulit Purwa sekarang ini. Agama Islam melarang umatnya membuat sesuatu yang menggambarkan bentuk manusia, sedangkan penggambaran profil manusia seperti yang tampak pada Wayang Kulit Purwa tersebut merupakan hasil ketajaman penglihatan mata batin mereka.

Senin, 19 November 2007

spirit lokal selera global, kemana disain nusantara?

Banyak hal di sekeliling kita yang terabaikan, karena setiap saat kita lihat dan rasakan, jadi kehadirannya menjadi terlupakan dan seolah-olah tidak ada.
Suatu ketika hal atau benda itu menghilang dari tempatnya, baru kita merasakan ketidakadaannya dan ketidakhadirannya, kita jadi merasa membutuhkan benda tersebut.
Demikian juga dengan disain, kita selalu mengelu-elukan dengan gegap gempita sesuatu yang datang dari luar lingkungan kita, karena kita merasa hal tersebut baru dan segar.
Atau pandangan yang lebih pribadi, mengapa justeru mereka yang membuat dan memulainya? Kok bukan kita atau diri kita sendiri yang memulainya?
Kita merasa kecolongan start dan sudut pandang, ujung-ujungnya kita merasa bersalah dan menyalahkan diri-sendiri.
Pada waktu yang tidak terlalu lama, suatu saat klien meminta pendapat kita tentang disain yang digunakan kompetitor. Nah! Merasa tertohoklah otak kita...
Semakin menyalahkan diri sendiri akhirnya kita ikut arus untuk membuat sesuai permintaan klien.
Ada saatnya kita tidak bisa berbuat apa-apa melihat kecenderungan yang mengarus, ada kalanya pula kita bengong karena tidak ada satu halpun yang kita kerjakan dianggap benar, serba salah melulu.
Mengapa kita tidak mempersiapkan diri kita mulai sekarang? Toh hal-hal yang membuat kerja kita tidak mood kerap atau bahkan sering menimpa kita. Seperti siklus portal teteg sepur, kadang datar, kadang di bawah, tapi lebih sering mendongak sombong.
Mengapa kita tidak mencoba dari sesuatu di sekitar kita? Kita amati sekeliling di sekitar kita, bagaimana lantai yang kita injak, pintu yang sudah kita lewati setiap hari selama ribuan kali, rantai sepeda yang aus, konsol rumah kita yang sudah karatan, ratusan genting rumah yang teronggok di sudut pekarangan sisa hajatan gempa tahun lalu.
Kita coba melihat dari sudut pandang anatomi yang kita pelajari di ruang kelas dahulu, mengapa pohon kelapa yang tinggi kurus itu daunnya juga kurus-kurus, dan pohon asem yang tinggi gede itu daunnya kok malah imut. Sedangkan tumbuhan talas yang selalu meringkuk di tepi kolam kok malah daunnya subur melebar. Atau kalau kita mau coba iseng membuktikan proporsi agung Leonardo Da Vinci satu koma enam satu delapan 1,618 apakah sesuai dengan amatan kita?
Semakin sering kita amati, kita pasti cukup waktu untuk menyimpulkan kondisi visual tetumbuhan tersebut, di situ muncul keseimbangan, irama, paradoks, dan "sesuatu" yang sangat disain banget. Mazab Bauhaus di Jerman sana sudah memulai dengan kepraktisan rancangannya, hal itu memang relevan dengan tuntutan saat itu, di mana dampak dari revolusi industri.
Mari kita coba buat disain yang lebih membumi, disain yang selama ini tidak pernah terpikirkan. Coba amati keanekaragaman hayati dan warisan pemikiran dan puncak kebudayaan nenek moyang kita di nusantara ini, kita bisa menyimpulkan dengan sekali tebak, wah batak tuh… begitu kita melihat ulos, atau papua banget! Ketika kita dihadapkan pada ukir rusticnya.
Sekarang bandingkan dengan era sekarang, kita sandingkan karya perancang Gorontalo dengan karya rancangan dari pemuda Kertosono, dari segi gagasan hampir tidak ada bedanya, kita tidak bisa menemukan unsur-unsur Sulawesi atau Jawa di karya tersebut, mungkin yang sedikit membedakan adalah teknik pembuatan. Apa yang salah di sini, mengapa kita mengabaikan lokalitas? Faktor pendidikan yang sudah diseragamkan, atau budaya tonton yang sudah menyandu? Jangan-jangan mimpi kitapun jadi sama seragam…
Kalau dilihat paparan di atas, mungkin kepekaan kita melihat sekitar sudah tumpul, kita jadi jarang sekali bertanya, apalagi mengkritisi suatu keadaan.
Marilah kita memulai berkarya dengan bekal bertanya, dan saya yakin jawabannya ada di sekitar kita, di alam ini.
Cobalah kita belajar membuat disain produk, grafis, interior, arsitektur, tekstil, keramik, jembatan, tobong gamping maupun pesawat jet dari literatur terdekat kita, alamlah ensiklopedia disain kita, mahakarya disain yang menjawab kebutuhan banyak orang, dari semangat pedesaan untuk kebutuhan universal.
Mari mencoba...

Banguntapan, November 2007
rudi winarso