Senin, 19 November 2007

spirit lokal selera global, kemana disain nusantara?

Banyak hal di sekeliling kita yang terabaikan, karena setiap saat kita lihat dan rasakan, jadi kehadirannya menjadi terlupakan dan seolah-olah tidak ada.
Suatu ketika hal atau benda itu menghilang dari tempatnya, baru kita merasakan ketidakadaannya dan ketidakhadirannya, kita jadi merasa membutuhkan benda tersebut.
Demikian juga dengan disain, kita selalu mengelu-elukan dengan gegap gempita sesuatu yang datang dari luar lingkungan kita, karena kita merasa hal tersebut baru dan segar.
Atau pandangan yang lebih pribadi, mengapa justeru mereka yang membuat dan memulainya? Kok bukan kita atau diri kita sendiri yang memulainya?
Kita merasa kecolongan start dan sudut pandang, ujung-ujungnya kita merasa bersalah dan menyalahkan diri-sendiri.
Pada waktu yang tidak terlalu lama, suatu saat klien meminta pendapat kita tentang disain yang digunakan kompetitor. Nah! Merasa tertohoklah otak kita...
Semakin menyalahkan diri sendiri akhirnya kita ikut arus untuk membuat sesuai permintaan klien.
Ada saatnya kita tidak bisa berbuat apa-apa melihat kecenderungan yang mengarus, ada kalanya pula kita bengong karena tidak ada satu halpun yang kita kerjakan dianggap benar, serba salah melulu.
Mengapa kita tidak mempersiapkan diri kita mulai sekarang? Toh hal-hal yang membuat kerja kita tidak mood kerap atau bahkan sering menimpa kita. Seperti siklus portal teteg sepur, kadang datar, kadang di bawah, tapi lebih sering mendongak sombong.
Mengapa kita tidak mencoba dari sesuatu di sekitar kita? Kita amati sekeliling di sekitar kita, bagaimana lantai yang kita injak, pintu yang sudah kita lewati setiap hari selama ribuan kali, rantai sepeda yang aus, konsol rumah kita yang sudah karatan, ratusan genting rumah yang teronggok di sudut pekarangan sisa hajatan gempa tahun lalu.
Kita coba melihat dari sudut pandang anatomi yang kita pelajari di ruang kelas dahulu, mengapa pohon kelapa yang tinggi kurus itu daunnya juga kurus-kurus, dan pohon asem yang tinggi gede itu daunnya kok malah imut. Sedangkan tumbuhan talas yang selalu meringkuk di tepi kolam kok malah daunnya subur melebar. Atau kalau kita mau coba iseng membuktikan proporsi agung Leonardo Da Vinci satu koma enam satu delapan 1,618 apakah sesuai dengan amatan kita?
Semakin sering kita amati, kita pasti cukup waktu untuk menyimpulkan kondisi visual tetumbuhan tersebut, di situ muncul keseimbangan, irama, paradoks, dan "sesuatu" yang sangat disain banget. Mazab Bauhaus di Jerman sana sudah memulai dengan kepraktisan rancangannya, hal itu memang relevan dengan tuntutan saat itu, di mana dampak dari revolusi industri.
Mari kita coba buat disain yang lebih membumi, disain yang selama ini tidak pernah terpikirkan. Coba amati keanekaragaman hayati dan warisan pemikiran dan puncak kebudayaan nenek moyang kita di nusantara ini, kita bisa menyimpulkan dengan sekali tebak, wah batak tuh… begitu kita melihat ulos, atau papua banget! Ketika kita dihadapkan pada ukir rusticnya.
Sekarang bandingkan dengan era sekarang, kita sandingkan karya perancang Gorontalo dengan karya rancangan dari pemuda Kertosono, dari segi gagasan hampir tidak ada bedanya, kita tidak bisa menemukan unsur-unsur Sulawesi atau Jawa di karya tersebut, mungkin yang sedikit membedakan adalah teknik pembuatan. Apa yang salah di sini, mengapa kita mengabaikan lokalitas? Faktor pendidikan yang sudah diseragamkan, atau budaya tonton yang sudah menyandu? Jangan-jangan mimpi kitapun jadi sama seragam…
Kalau dilihat paparan di atas, mungkin kepekaan kita melihat sekitar sudah tumpul, kita jadi jarang sekali bertanya, apalagi mengkritisi suatu keadaan.
Marilah kita memulai berkarya dengan bekal bertanya, dan saya yakin jawabannya ada di sekitar kita, di alam ini.
Cobalah kita belajar membuat disain produk, grafis, interior, arsitektur, tekstil, keramik, jembatan, tobong gamping maupun pesawat jet dari literatur terdekat kita, alamlah ensiklopedia disain kita, mahakarya disain yang menjawab kebutuhan banyak orang, dari semangat pedesaan untuk kebutuhan universal.
Mari mencoba...

Banguntapan, November 2007
rudi winarso