Senin, 03 Desember 2007

Tebar Pesona a la Trowulan: Megapolitan di Pedalaman Majapahit

“SIRA ta dhinarmeng Kapopongan, bhiseka ring Crnggapura pratista ring Antawulan”


KALIMAT di atas diambil dari Serat Pararaton yang berisi kisah Raja-Raja Tumapel dan Majapahit yang mengabarkan wafatnya Raja Jayanegara pada tahun 1328 Saka. Menurut Dr. N.J. Krom, Crnggapura dalam Pararaton sama dengan Cri Ranggapura dalam Nagarakrtagama, sedang Antawulan dalam Pararaton sama dengan Antarsasi dalam Nagarakrtagama.
Jadi dapat disimpulkan bahwa dharma (tempat suci) Raja Jayanegara berada di Kapopongan atau Crnggapura atau Cri Ranggapura. Pratista (bangunan suci)-nya berada di Antawulan atau Trowulan. Sedangkan Kapopongan atau Crnggapura atau Cri Ranggapura sekarang ini lebih dikenal dengan sebutan Gapura Bajangratu, sebuah bangunan pintu gerbang yang memiliki atap (paduraksa), bahan utamanya terbuat dari bata merah sedangkan lantai tangga dan ambang pintu terbuat dari batu andesit.
Tujuan pembuatan bangunan tersebut diduga sebagai pintu masuk ke sebuah bangunan suci untuk memperingati wafatnya Jayanegara (dalam Nagarakrtagama disebut kembali ke dunia Wisnu 1328 Saka), yang diperkuat dengan adanya relief Sri Tanjung dan Sayap Gapura yang mempunyai arti sebagai lambang “pelepasan”.
Gapura Bajangratu terletak di Dukuh Kraton, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, 65 km arah barat dari Kota Surabaya atau 20 km timur Jombang. Dari Jalan Raya Jombang - Mojokerto ke arah selatan, sampai di perempatan Dukuh Ngliguk belok ke timur sekitar 3 km. Anda bisa mencapainya dengan jalan kaki atau naik becak yang biasa mangkal di sekitar perempatan ibukota Majapahit tersebut.
Apabila anda naik becak dan keasyikan ngobrol dengan abang becak, dalam beberapa menit telah muncul di samping kiri anda kolam renang besar purba dengan sebuah candi kecil pada bagian tengahnya bersosok gunung merangkap pancuran - yang oleh masyarakat sekitar disebut Candi Tikus, setelah anda melewati belokan ke selatan.
Pada tahun 1924, Ir. H. Maclaine Pont membuat sketsa rekonstruksi ibukota Majapahit berdasarkan Nagarakrtagama dan beberapa usaha penggalian yang dilakukan bersama timnya. Ibukota Majapahit terlihat teratur, indah dan ditata dengan megah.
Dalam Nagarakrtagama disebutkan, penduduk ibukota Majapahit terdiri dari dua ratus sampai tiga ratus ribu keluarga, kota itu dikelilingi dinding tebal dan tinggi yang terbuat dari batu bata. Apabila ada yang masuk ke kota harus melewati pintu gerbang. Di kota itu terdapat alun-alun yang dikelilingi pohon beringin yang rindang, di tengahnya terdapat kolam yang besar. Di selatan alun-alun ada dataran untuk gelanggang. Di samping gelanggang terdapat sitinggil, suatu pelataran yang diberi atap.
Di sitinggil itulah raja duduk sambil menikmati tontonan atau permainan yang diadakan di gelanggang. Gelanggang tersebut dikelilingi komplek perumahan pendeta dan beberapa candi. Di selatan gelanggang terletak istana raja, yang tidak boleh dikunjungi rakyat. Tidak jauh dari istana terdapat bangunan untuk kediaman para pangeran.
Kecuali gedung-gedung suci (candi) dan pintu gerbang, semua bangunan terbuat dari kayu. Bangunan tersebut indah-indah semua dan bentuknyapun tidak ada yang sama antara satu dengan lainnya. Lagi pula semua dihiasi dengan lukisan dan barang dari tanah liat.

Kolam besar yang terdapat di tengah alun-alun tersebut dinamakan segaran yang berarti laut, atau telaga dalam Nagarakrtagama.
Menurut berita Cina dan cerita rakyat, kolam seluas 6,5 hektar tersebut digunakan untuk rekreasi dan menjamu tamu dari luar negeri, mungkin semacam pesta kebun atau standing party yang dilakukan di pinggir kolam.
Hidangan yang disajikan beraneka macam dan sangat lezat, sedangkan peralatan makan yang digunakan dalam pesta tersebut terbuat dari emas dan perak.
Setelah menyantap hidangan para tamu diperkenankan “membuang” piring atau peralatan makan/minum ke dalam kolam! Menunjukkan betapa kaya dan makmurnya negeri Majapahit…
Tak lama setelah tamu beranjak pulang, para petugas kerajaan datang memungut kembali “sampah” tersebut dengan cara mengangkat jala atau jaring-jaring yang menutupi sepanjang permukaan kolam - yang tentu saja ada lecet-lecet di sana-sini, ndak masalah, toh perhelatan serupa masih tiga purnama lagi.
Ehm, suatu entertaint dengan teknik orisinal untuk sebuah building image yang di-organized para pakar pi-ar mbah kita, atau mungkin lebih tepatnya mbah-mbahnya pakar pi-ar.
Dan malampun segera larut, para tamupun meneruskan mimpinya di ranjang-ranjang mewah keraton Trowulan. Ssst…lebih dari enam abad yang lalu praktek tebar pesona sudah dilakoni moyang kita!

Mojokerto, Mei 2005-07
Rudi Winarso

Selasa, 20 November 2007

WAYANG KULIT: Adikarya Disain Nusantara

Kiranya bukan sovinisme (chauvinisme) yang mendorong kita untuk mengatakan bahwa wayang kulit itu suatu bentuk seni yang sangat indah dan menarik. Memang sungguh menarik dan menakjubkan gaya dekoratif abstrak maupun realistis ciptaan para seniman tradisional kita. Dengan daya fantasi yang luar biasa mereka jalin relung-relung lubuk keindahan alam sekitarya menjadi karya-karya penuh pesona dalam penyebaran kebudayaan sebagai komponen peradaban. Mereka merupakan orang-orang yang pandai berolah seni, yang karya-karya ciptaannya dipersembahkan kepada masyarakat untuk keperluan ibadah atau upacara ritual, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan sarana upacara adat dan agama. Dengan menggunakan motif-motif relief atau patung-patung candi yang banyak terdapat di Jawa sebagai sumber, terciptalah oleh seniman-seniman tradisional bentuk-bentuk wayang yang disesuaikan dengan larangan agama Islam. Digambarkannya bentuk-bentuk manusia secara abstrak-dekoratif seperti yang terlihat pada wujud Wayang Kulit Purwa sekarang ini. Agama Islam melarang umatnya membuat sesuatu yang menggambarkan bentuk manusia, sedangkan penggambaran profil manusia seperti yang tampak pada Wayang Kulit Purwa tersebut merupakan hasil ketajaman penglihatan mata batin mereka.

Senin, 19 November 2007

spirit lokal selera global, kemana disain nusantara?

Banyak hal di sekeliling kita yang terabaikan, karena setiap saat kita lihat dan rasakan, jadi kehadirannya menjadi terlupakan dan seolah-olah tidak ada.
Suatu ketika hal atau benda itu menghilang dari tempatnya, baru kita merasakan ketidakadaannya dan ketidakhadirannya, kita jadi merasa membutuhkan benda tersebut.
Demikian juga dengan disain, kita selalu mengelu-elukan dengan gegap gempita sesuatu yang datang dari luar lingkungan kita, karena kita merasa hal tersebut baru dan segar.
Atau pandangan yang lebih pribadi, mengapa justeru mereka yang membuat dan memulainya? Kok bukan kita atau diri kita sendiri yang memulainya?
Kita merasa kecolongan start dan sudut pandang, ujung-ujungnya kita merasa bersalah dan menyalahkan diri-sendiri.
Pada waktu yang tidak terlalu lama, suatu saat klien meminta pendapat kita tentang disain yang digunakan kompetitor. Nah! Merasa tertohoklah otak kita...
Semakin menyalahkan diri sendiri akhirnya kita ikut arus untuk membuat sesuai permintaan klien.
Ada saatnya kita tidak bisa berbuat apa-apa melihat kecenderungan yang mengarus, ada kalanya pula kita bengong karena tidak ada satu halpun yang kita kerjakan dianggap benar, serba salah melulu.
Mengapa kita tidak mempersiapkan diri kita mulai sekarang? Toh hal-hal yang membuat kerja kita tidak mood kerap atau bahkan sering menimpa kita. Seperti siklus portal teteg sepur, kadang datar, kadang di bawah, tapi lebih sering mendongak sombong.
Mengapa kita tidak mencoba dari sesuatu di sekitar kita? Kita amati sekeliling di sekitar kita, bagaimana lantai yang kita injak, pintu yang sudah kita lewati setiap hari selama ribuan kali, rantai sepeda yang aus, konsol rumah kita yang sudah karatan, ratusan genting rumah yang teronggok di sudut pekarangan sisa hajatan gempa tahun lalu.
Kita coba melihat dari sudut pandang anatomi yang kita pelajari di ruang kelas dahulu, mengapa pohon kelapa yang tinggi kurus itu daunnya juga kurus-kurus, dan pohon asem yang tinggi gede itu daunnya kok malah imut. Sedangkan tumbuhan talas yang selalu meringkuk di tepi kolam kok malah daunnya subur melebar. Atau kalau kita mau coba iseng membuktikan proporsi agung Leonardo Da Vinci satu koma enam satu delapan 1,618 apakah sesuai dengan amatan kita?
Semakin sering kita amati, kita pasti cukup waktu untuk menyimpulkan kondisi visual tetumbuhan tersebut, di situ muncul keseimbangan, irama, paradoks, dan "sesuatu" yang sangat disain banget. Mazab Bauhaus di Jerman sana sudah memulai dengan kepraktisan rancangannya, hal itu memang relevan dengan tuntutan saat itu, di mana dampak dari revolusi industri.
Mari kita coba buat disain yang lebih membumi, disain yang selama ini tidak pernah terpikirkan. Coba amati keanekaragaman hayati dan warisan pemikiran dan puncak kebudayaan nenek moyang kita di nusantara ini, kita bisa menyimpulkan dengan sekali tebak, wah batak tuh… begitu kita melihat ulos, atau papua banget! Ketika kita dihadapkan pada ukir rusticnya.
Sekarang bandingkan dengan era sekarang, kita sandingkan karya perancang Gorontalo dengan karya rancangan dari pemuda Kertosono, dari segi gagasan hampir tidak ada bedanya, kita tidak bisa menemukan unsur-unsur Sulawesi atau Jawa di karya tersebut, mungkin yang sedikit membedakan adalah teknik pembuatan. Apa yang salah di sini, mengapa kita mengabaikan lokalitas? Faktor pendidikan yang sudah diseragamkan, atau budaya tonton yang sudah menyandu? Jangan-jangan mimpi kitapun jadi sama seragam…
Kalau dilihat paparan di atas, mungkin kepekaan kita melihat sekitar sudah tumpul, kita jadi jarang sekali bertanya, apalagi mengkritisi suatu keadaan.
Marilah kita memulai berkarya dengan bekal bertanya, dan saya yakin jawabannya ada di sekitar kita, di alam ini.
Cobalah kita belajar membuat disain produk, grafis, interior, arsitektur, tekstil, keramik, jembatan, tobong gamping maupun pesawat jet dari literatur terdekat kita, alamlah ensiklopedia disain kita, mahakarya disain yang menjawab kebutuhan banyak orang, dari semangat pedesaan untuk kebutuhan universal.
Mari mencoba...

Banguntapan, November 2007
rudi winarso